Rabu, 01 Juli 2009 |
CERPEN : VERA CAUSA UNTUK CHIPY |
VERA CAUSA UNTUK CHIPY
Waktu menunjukkan pukul 5 pagi ketika sebuah peluru muncul menghampiri gedungku. “Chipy! Cepat bangun! Kita diserang!” Faza, pemimpin gedung kami, memanggilku yang sejenak terlelap tanpa mimpi. Aku Chipy. Aku hanyalah gadis berusia 15 tahun yang terperangkap dalam sisi kematian, walaupun kematianku hanyalah sebatas kehilangan sebutir pasir di tepi pantai kehidupan. Aku diciptakan untuk mengetahui kehidupan orang lain. Walaupun alam ada tujuh, aku tidak memiliki alam sama sekali. Sekarang aku sedang berlari di jembatan yang menghubungkan gedung tempat tinggalku dengan laboratorium biologi, di mana virus penyakit mematikan sedang dikemas dalam tabung-tabung dengan diameter 1 cm. Akhirnya, kami semua sampai di sebuah ruangan serba putih di atap gedung biologi. Ruangan ini hampa, tanpa ada satu pun barang tertera di setiap dindingnya. “Aku takut kita takkan selamat,” Dyane, menangis terisak di sudut ruangan. “Kita akan selamat,” Aku menenangkan Dyane. “Tapi... Perang ini tak pernah usai. Bangsa Amerika itu terus menyerang kita sampai ke pusat penelitian. Kita akan mati...” “Kita tidak akan mati....” Yah! Keadaan sekarang memang sulit dipahami. Perang Dunia III sedang terjadi di depan mata. Sekawanan perampok ilmu terus saja menjajah negara-negara pintar. Rahasiaku, aku adalah utusan dari Indonesia. Aku takut dengan bangsaku sendiri, Indonesia. Semua negara mewaspadai Indonesia, yang sudah pasti memiliki mata-mata di seluruh dunia. Ibarat pertukaran pelajar, aku terdampar di Inggris. “Perhatian! Semuanya! Hari ini kita akan menuju Thailand dan harus melepaskan senjata biologi yang telah disiapkan di ruang riset di samping ruang observasi kimia. Kita akan berangkat menggunakan helikopter yang sama dengan helikopter Thailand. Keberadaan kita sebagai bangsa Eropa tidak akan dikenali karena helikopter kita dirancang untuk menyembunyikan semua identitas penghuninya. Kita akan berangkat setengah jam lagi. Semuanya, harap bersiap. Jangan... Owh, memakai pakaian tidur seperti itu. Jelas?” Faza memberi aba-aba panjang lebar kepada kami. “Jelas!” “Ada yang ingin ditanyakan?” “Tidak!” “Bagus! Kalau begitu...” “Tunggu!” Aku menyela, “Bagaimana dengan keadaan penghuni gedung ini? Bukankah seharusnya kita menetap dan...” “Tidak. Kita harus mengerjakan tugas kita. Gedung ini telah diberi lapisan pelindung yang tidak akan bisa ditembus oleh peluru biasa. Jangan membuang waktu! Ayo, kita bersiap!” Seisi ruangan langsung berhambur keluar begitu Faza meninggalkan ruangan hampa itu. Faza... Hh. Dia adalah komandan pasukan dari kelompok kami. Dan kami adalah ilmuwan di bawah umur yang dipersiapkan untuk menghadapi semua kemungkinan serangan. Aku datang sebagai hasil ciptaan ilmuwan Indonesia. Mungkin, inilah rahasia terbesarku. Dan aku merasa berhutang karena Abi, Marisya, Wulan, dan Viska merancangku sedemikian rupa sehingga aku bisa merasakan semuanya, termasuk cinta. Tapi Faza, adalah manusia. Dan aku, hanyalah robot pengintai utusan negara yang diberi kelebihan karena adanya program komputer dalam chip di kepalaku. Jadi, namaku Chipy karena chip.
Sesampainya di Thailand, semua sibuk dengan tugas masing-masing. “Lempar!!!” Edmund, kapten helikopter N-3 berteriak dan meluncurkan tabung gas beracun yang akhirnya akan membawa malapetaka bagi Thailand. “Tembak!!” David, kapten helikopter N-4 memberi aba-aba kepada prajuritnya untuk melemparkan bom yang telah dirancang khusus untuk meledak setelah lima belas menit. “Kita harus turun dan membawa prajurit kita yang tersisa,” Faza angkat bicara di helikopter kami, N-8. “Tapi, itu terlalu berbahaya dan memakan waktu,” Aku memberi alasan. “Tidak jika kita hanya turun bertiga atau berempat. Kita bisa menyingkat waktu. Dan prajurit yang terluka akan dibawa oleh kapal yang telah dipersiapkan.” “Tapi, Faza. Kapal itu terlalu besar dan mencolok.” “Percayalah padaku. Ini akan berhasil.” “Tapi...” “Kau, Lucy, dan Susan akan turun. Bersamaku.” “Apa??” Susan dan Lucy tampak histeris. “Aku tak menerima kata tolak saat ini. Ayo, kita turun!” Keputusannya, aku, Lucy, Susan, dan Faza turun tangan untuk menyelamatkan prajurit yang tersisa. Kita hanya memiliki waktu 8 menit untuk pergi meninggalkan negara itu. Sembunyi-sembunyi, kami berpencar mencari prajurit yang tersisa. Namun, ketika aku terjebak di antara puing bangunan, Lucy datang mendekat. Bukan mendekat kepadaku, tapi mendekati tabung penyakit yang diluncurkan helikopter N-3. Mungkin dia tidak tahu. Tapi... “Lucy, awas!!” Terlambat. Sepatu Lucy menginjak tabung itu. Peringatanku tak berguna. Lucy berteriak dan aku tidak bisa berbuat apa-apa. Kakiku tertimpa besi yang tak mungkin bisa kuangkat sendirian. Lucy masih berteriak. Seluruh tubuhnya melepuh. Semakin lama semakin parah. Aku tak bisa melihat ini. Aku... BRUKK... Lucy terjatuh tanpa ada kata terakhir. Jadi, dia telah pergi untuk selamanya? Aku ingin menangis. Tapi mataku tak mengeluarkan airmata. Kenapa? Apa lagi yang diharapkan Abi, perancangku? Apa lagi yang direncanakan Marisya, programer chip-ku? Atau Wulan, programer jasadku? Atau Viska, perancang organ dalam tubuhku? Sebenarnya, apa yang mereka rencanakan? Apa? Aku ingin menangis. Sungguh... “Hei!” Seseorang bermata sipit dengan warna kulit sawo matang menghampiriku. Dia pastilah orang asli Thailand. Apa yang harus kuperbuat? “Siapa kau? Apa yang ingin kau lakukan di sini? Jangan-jangan kau mata-mata dari Inggris? Atau Indonesia?” Orang Thailand itu berbicara padaku seraya mengacungkan senapan yang panjangnya 50 cm. Dia berbicara dengan bahasa Thailand yang anehnya aku pun dapat membalas perkataannya. “Aku mata-mata negara kalian,” Kataku seraya berbisik. Hei! Bukan kalimat ini yang melayang di otakku! Pasti Marisya dan Abi yang mengatakan ini langsung dari chip dan programmer otakku. “Kalu begitu, siapa namamu?” “Chip seri V-1612.” “Oh, baiklah. Sebaiknya kau tidak di sini.” “Aku tahu.” Orang Thailand tak dikenal itu pun pergi. Fiuh... Lega rasanya. Tapi, Susan dan Faza di mana? Aku mencoba membebaskan diri dari besi yang menimpaku ini. Aku tak bisa! “Chipy! Kau tidak apa-apa?” Faza datang menghampiriku. Dia membantuku membebaskan kakiku dari besi pembawa sial yang menimpaku ini. Sungguh luar biasa. Kakiku berdarah dan aku merasakan sakit yang menjalar ke seluruh tubuhku. Apakah Viska dan Abi mendesain diriku sedemikian rupa sehingga aku sungguh sangat mirip dengan manusia nyata? Hebat... “Aku... Uhm...” “Kau berdarah! Ayo, kita harus pergi dari sini. Wilayah ini akan meledak satu menit lagi.” “Satu menit?” “Ya! Ayo, kita pergi!” Faza mengalungkan tanganku ke lehernya. Aku berjalan tertatih-tatih di sampingnya. Luka ini memang menyakitkan ternyata. “Peter, helikopter N-8? Faza,” Faza memanggil Peter di helikopter N-8 lewat alat sambung yang sedari tadi melekat di telinganya. “Peter di sini. Ada apa komandan?” Peter membalas. “Daratkan helikoptermu di tepi pelabuhan. Aku tahu tempat itu sepi. Aku mohon, jangan menolak. Aku dan Chipy akan masuk.” “Ok, Komandan. Segera.” Faza menuntunku lagi ke arah pelabuhan terdekat. Angin semilir berhembus, menambahkan perih luka di kakiku yang palsu ini. Banyak api berkobar di mana-mana. Korban bergelimpangan seperti semut di meja makan. Tapi, perang belum usai. Ini barulah permulaan.
Rombongan helikopter dari N-1 sampai N-8 pun sampai di wilayah gedung putih di Inggris. Para perawat berhamburan, berniat mengobati korban-korban perang. Aku langsung dibawa ke tempat pengobatan hanya karena luka kecil. Faza menyuruhku tetap berada di tempat ini walaupun aku bersikeras ingin membantu mereka menyiapkan semua keperluan yang harus ada saat serangan terjadi kapan saja. Tapi Faza melarangku. Aku hanya bisa merenung di tempat ini, memutar kembali otakku untuk kejadian sebelumnya di mana Lucy meninggal karena tak sengaja menginjak tabung penyakit itu... Aku tak sanggup membayangkannya... “Chipy, ada yang bisa kau laporkan pada kami?” Sebuah suara keluar dari tubuhku dan hanya terdengar oleh sensor pendengarku. Suara itu adalah suara milik Abi, pengontrol gerak-gerikku. Dan maksud dari kata kami adalah semua ilmuwan dan bangsa Indonesia, terutama perancangkau. Aku melayangkan sederet kalimat di otakku yang menuju ke sensor di Indonesia. Abi dan yang lainnya pun menerima kode dariku. 21612162 522153432162 4221738274 42218143=2x 7432732162412162 21522162 312181216241 “Terima kasih, Chipy,” Abi mengucapkan kata terakhir yang kemudian sensor itu sengaja diputus.
Keesokan harinya, aku terbangun dengan cahaya matahari redup memasuki ruanganku. Aku masih terbaring di tempat pengobatan gedung putih. Seharusnya, aku sedang menghitung ketinggian helikopter untuk melepaskan senjata biologi berikutnya atau sedang meneliti obat untuk meringankan penderitaan para prajurit yang terlanjur terluka. Tapi, Faza melarangku. “Hai, Chipy. Kau sudah bangun?” Suara Faza mengusik pikiranku. “Oh, hai. Ya, aku merasa sudah bangun sekarang.” Faza tertawa kecil, memperlihatkan giginya yang putih bersih serta senyumnya yang membuatku luluh dan tetap memandangnya. “Bagaimana keadaanmu?” Tanya Faza, menghentikan tawa kecilnya. “Aku merasa sembuh melihatmu tertawa seperti itu.” Faza tertawa kecil lagi. “Kau tidak akan sembuh jika hanya melihatku tertawa.” “Faza, ke mana tujuanmu hari ini?” Tanyaku, menghentikan tawa kecilnya. “Indonesia.” “A... Apa?” Aku tersentak kaget. Indonesia? Negaraku? “Ya, Indonesia. Ada apa?” “Bu... Bukankah itu terlalu berbahaya?” “Memang, tapi kita membutuhkan banyak tanaman untuk obat para prajurit. Lagipula, kita harus menaklukkan negara termaju dulu agar memudahkan misi kita. Kau mengerti kan, Chipy?” “Tapi, bagaimana jika Indonesia tidak takluk?” “Harus takluk,” Faza tersenyum, mencoba meyakinkanku. Tapi, aku tidak yakin. Aku takut. Bukan takut karena negaraku akan diserang, tapi takut kalau aku tidak akan pernah bertemu Faza lagi. Aku takut dia akan pergi meninggalkanku untuk selamanya. Usianya memang masih 17 tahun, tapi tekadnya sudah seperti orang dewasa. Aku tak mungkin bisa mencegahnya. Aku takut. Tiba-tiba sebuah sirine berbunyi secara mengejutkan. “Itu tanda untukku. Aku harus pergi.” Faza melangkahkan kakinya ke arah pintu ruangan dan menghilang ditelan tembok-tembok dan pilar-pilar bangunan. Aku, hanya bisa menantinya.
Tepat pukul 1 siang, semua helikopter kembali ke gedung putih. Aku yang masih berdiri menunggu zat HCl, H2O, dan KrO2 bereaksi di tabung setinggi 30 cm, terlonjak kaget. “Aku mendapatkannya! Ilmuwan mereka! Kelemahan mereka! Aku mendapatkannya!” Justin, prajurit kelompok 311 berlari menuju ruangan di mana semua ilmuwan masih sibuk menyiapkan perang selanjutnya. Ia datang dengan selembar kertas putih kecokelatan dengan sedikit terbakar di ujungnya. Nama Pekerjaan di lab, dsb. 1) Abdul Aziz Pengontrol mesin 2) Abimanyu N.M.S. Perancang robot 3) Ade Anggraeni K.D. Pengamat astronomis 4) Adetia Fatmawati Peneliti biologis 5) Andika Septiana S. Pereaksi segala zat kebutuhan 6) Dewi Chusniasih Pembuat senjata biologi 7) Dilla Fitria Penerjemah bahasa asing 8) Evanjelina Pristica Penghitung 9) Hakim Erlangga B.S. Komandan tentara perang 10) Kezia Putri Kasawanda Perancang senjata globalisasi 11) Marisya Ftriyani Programer chip robot 12) Mediska Arta P. Ketua perhitungan di lab 13) Meyliana Astriyantika Pengamat geografis bumi 14) Raeni Wulan Permata Programer tubuh/ jasad robot 15) Ratri Sekar Pertiwi Ketua perserikatan mata-mata 16) Ratya Hapsari S.A. Ketua ikatan dokter di lab 17) Retno Anggraeni Ketua ilmuwan di lab 18) Siti Fadilah ahli gizi 19) Tri Hartrini Pengontrol komunikasi 20) Viska Nurisma Perancang organ tubuh robot Aku terkejut melihat kertas dengan semua daftar itu. Apa yang akan dilakukan orang-orang Inggris ini terhadap semua ilmuwan-ilmuwan penting itu? “Kita harus membunuh mereka. Mereka adalah kelemahan Indonesia. Lab pusat hancur, maka Indonesia pun akan hancur,” Hayden, ketua komandan gedung putih memberikan saran yang menjatuhkan jantung besiku. Aku langsung mengirimkan kode ke Abi yang ada di Indonesia. 522153432162 21522162 8132732282628242
Satu minggu telah berlalu, namun perang tak pernah mau berhenti bermain. Hari ini, aku melihat kesibukan luar biasa melanda laboratorium dan gedung putih. Aku melihat Faza dan menghentikannya. “Faza, apa yang terjadi?” Tanyaku, berharap mendapatkan informasi. “Tidak terjadi apa-apa. Kita hanya sedang bersiap untuk menyerang Indonesia,” Kedua tangan Faza memegang pipiku, “Jangan takut, ya.” “Tapi...” “Aku akan kembali. Aku janji.” Faza memberiku segaris senyum keyakinan yang tak meyakinkan. Aku merasa, itu adalah senyum terakhir yang kulihat. Senyum terakhir yang diberikan Faza padaku. Faza berlari bersama para prajurit, kapten, komandan pasukan, dan yang lainnya. Aku tak kuasa membayangkan kemungkinan yang akan terjadi selanjutnya. “Laporan! Semua perusahaan film hancur! Penghuni gedung meninggal. Sebagian artis selamat dan disekap di Liverpool,” Seorang komunikator berteriak. “Siapa saja yang selamat?” Seseorang berjaket putih merespon. “Skandar Keynes, Thomas Sangster, Freddie Highmore, Ed Speelers, Alex Pettyfer, William Moseley, Daniel Raddcliffe, Emma Watson,...” Aku tak mendengar kata selanjutnya. Aku hanya menginginkan Faza di sini, tersenyum padaku. Aku harus ke Indonesia. Dan aku akan melakukannya. Aku menyelinap di helikopter V-1 dan tak peduli apa kata semuanya akan hal ini.
Indonesia di depan mataku sekarang setelah 5 jam menempuh perjalanan. Perang telah berlangsung. Banyak api berkobar-kobar, memakan apa pun yang ada di dekatnya. Tapi, di mana Faza? Aku turun dari helikopter dan langsung berlari ke pusat penelitian di mana semua ilmuwan bekerja dan perancangku sedang merancang robot lain. Tiba-tiba, aku tiba di ruangan tempat semua rencana tersusun. “Hei, Chipy! Kaukah itu? Apa yang kau lakukan?” Abi melihatku dan berteriak seraya memberitahu yang lain. Ada garis kemarahan tertera di wajahnya. “Kami tak menciptakanmu untuk berkhianat, Chipy!” Marisya menambahkan. “Chipy!” Wulan berteriak, namun aku menghindari mereka dan terus berlari dengan bayangan Faza melayang di otakku. Aku menyusuri gedung laboratorium ini dengan langkah panjang, berharap mendengar Faza menegurku dengan sapaan manisnya. Tapi, aku tidak sendirian. Abi, Aziz, Angga, dan sepuluh tentara mengejarku. Tiba-tiba saja, seseorang menarik tanganku dan aku pun terjatuh. “Faza?” “Ssssttt... Sebaiknya kau diam sampai mereka menghilang.” Faza... Ada di hadapanku sekarang. Aku memeluknya. Faza balas memelukku. Tak ada perasaan lain kecuali perasaan senang memenuhi hatiku sekarang. “Chipy, aku tahu siapa dirimu sebenarnya,” Faza berbisik, mengejutkanku. “Apa? Aku? Me... memangnya aku siapa?” Faza melepas pelukannya. “Jangan pasang wajah seperti itu. Kau... Chipy, kan? Chipy. Chip. Robot yang dicari semua ilmuwan di dunia. Robot paling sempurna karya perancang Indonesia,” Faza tersenyum. Aku menunduk. Aku kecewa dan merasa bersalah. Jadi, rencanaku selama ini gagal total? Aku telah mematahkan impian bangsa Indonesia yang menaruh harapan padaku. Aku... Aku tidak berguna! Aku gagal! “Hei... Jangan sedih,” Faza mengangkat daguku. “Maaf.” “Kau tahu, Chipy. Aku tahu semuanya sejak awal. Dan aku tahu, kau membahayakan negara kami. Tapi, perasaanku berkata lain. Jadi, aku tak bisa menyerahkanmu ke aparat gedung putih.” “Lalu, mengapa kau tak membunuhku?” “Itu terlalu menyakitkan. Untukku. Karena demi kamu, aku pun rela mati.” “Tapi Faza... Kau tahu, kan? Aku ini robot! Bukan manusia!” “Aku tahu. Dan aku tak peduli.” Faza memelukku lagi. Aku menangis. Faza... Aku tak bisa meninggalkannya. Aku terlalu menyayanginya untuk saat ini, kemarin, esok, dan seterusnnya. Tiba-tiba Faza berputar dan membalikkan posisi, menggantikan posisiku menjadi posisinya. Aku terkejut. Berikutnya, suara tembakan datang menghampiri kami berdua yang selanjutnya aku tak sanggup membayangkannya. Faza terjatuh dengan luka tembak tertera di perutnya. Peluru itu telah berhasil menembus ginjalnya. Darahnya yang berwarna kemerahan itu mengalir. Matanya yang berwarna biru kehijauan terus menatapku. “Faza....” “A... aku telah me... mengatakannya. Aku... aku rela mati untuk.... mu,” Faza tersenyum. Untuk yang terakhir kalinya. “Chipy!” Abi menghampiriku. “Bunuh aku! Aku tidak ingin menjadi mata-mata kalian lagi. Aku telah gagal! Bunuh aku!” Aku berteriak, menyerahkan diri kepada sekawanan manusia dihadapanku. “Aku kecewa, Chipy,” Abi menurunkan senjatanya. Dan menit berikutnya, ia menembakkan sebuah peluru khusus yang dirancang untuk menaklukkanku. Dan ini adalah hidupku yang terakhir. Aku dibawa ke laboratorium. Beberapa orang berkata-kata tentangku. Kata mereka, aku membahayakan. Mengecewakan. Dan aku harus dibunuh. Aku akan digantikan oleh jiwa yang lain, yang lebih baik dariku. Tapi, aku senang. Karena hidup tanpa Faza adalah hidup yang mematikan. Dan walaupun aku dan Faza bersatu hanya dalam hitungan menit, itu berarti banyak. Aku berakhir sampai di sini. Dan Faza, menjemput prajurit lainnya yang rela mati demi negara. Dan aku. Tapi, perang belum usai. Perang Dunia III baru dimulai.
*** The End ***Label: kamis |
posted by viska @ 23.51   |
|
|
|
About Me |

- Nama: viska
- Lokasi: gedongtataan, lampung, Indonesia
klo mw tw ttg dri qw, add fs qw d deanw88_311@yahoo.com.
nd hub. qw d almt email d ats.
thank u.
Lihat profil lengkapku
|
Archives |
|
Archives |
|
Sidebar Section |
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus. Aenean viverra malesuada libero. Fusce ac quam. |
Sidebar Section |
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus. Aenean viverra malesuada libero. Fusce ac quam. |
Links |
|
|
|